Indonesia, mataberita.net — Pernikahan beda agama dianggap tradisi biasa dilakukan, tapi boleh kan? Pernikahan (Bahasa Arab: زواج Zawaj, Bahasa Ibrani: נישואים Chatunah, Bahasa Inggris: Wedding, Bahasa Mandarin: 婚姻 Hūnyīn) adalah proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pernikahan merupakan ibadah yang mulia dan Suci. Pernikahan dilakukan oleh pasangan perempuan dan laki – laki yang seagama yang dijaga hingga maut memisahkan. Namun, beda agama pun tak menjadi halangan pernikahan. Hal itu pula dari masa ke masa rupanya menjadi hal biasa dalam pernikahan.
Pernikahan di dalam Islam, pernikahan itu bukan hanya berbicara tentang hubungan pria dan wanita yang diakui secara sah secara agama dan hukum negara, dan bukan hanya berbicara kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan saja, tetapi pernikahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan kondisi jiwa manusia, kerohanian (lahir dan batin), nilai-nilai kemanusian, dan adanya suatu kebenaran. Tidak hanya itu, pernikahan dalam pandangan Islam merupakan kewajiban dari kehidupan rumah tangga yang harus mengikuti ajaran-ajaran keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Di dalam agama Islam ada beberapa tujuan pernikahan yang perlu dimengerti dan dipahami.
Hal tersebut agar pernikahan bisa memberikan kebahagiaan sekaligus pahala karena sudah melaksanakan ibadah. Kemudian Pernikahan dalam Kristen merupakan sebuah penyatuan rohani oleh Allah. Dalam pernikahan, pasangan suami dan istri harus terus menjalankan hubungan yang benar dengan Tuhan secara rohani atau spiritual. Menurut Desedentison W. Ngir (2013) dalam buku Bukan Lagi Dua Melainkan Satu: Panduan Konseling Pranikah & Pascanikah, pasangan yang tidak melibatkan Tuhan berarti sudah memutuskan sumber daya terbesar untuk mencapai tujuan pernikahan.
Oleh karena itu, penting bagi pasangan suami istri untuk tetap menjalin hubungan yang dekat dengan Tuhan Yesus Kristus. Selain itu, setiap pasangan juga harus menerapkan prinsip dasar pernikahan Kristen dalam rumah tangganya. Diantaranya pernikahan berasal dari Allah, pernikahan merupakan ikatan baru, dua orang menjadi satu dan tidak boleh diceraikan manusia. Selanjutnya pernikahan dalam Katolik menurut KHK1983 kan.1055 §1 adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes §48).
GS dan KHK tidak lagi mengartikan pernikahan sebagai kontrak. Pernikahan itu mempunyai tiga tujuan yaitu kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak atau Keluarga Berencana (KB). Pernikahan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Ya menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan. Sedang indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum)secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan.
Maka pernikahan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam Hukum Gereja tahun 1983 (kan. 1141). Yang dimaksud dengan pernikahan Katolik adalah pernikahan yang mengikuti tatacara Gereja Katolik. Pernikahan semacam ini pada umumnya diadakan antara mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi dapat terjadi pernikahan itu terjadi antara mereka yang salah satunya dibaptis di Gereja lain non-Katolik. Peernikahan antara orang-orang yang dibaptis disebut ratum (kan. 1061) sedangkan pernikahan antara orang yang salah satunya tidak Katolik disebut pernikahan non ratum.
Pernikahan ratum, setelah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum) menjadi pernikahan yang ratum et consummatum yang tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa manapun, kecuali kematian (kan. 1141). Pernikahan yang ratum et non consummatum dapat diputuskan oleh Tahta suci oleh permintaan salah satu pasangan (kan. 1142). Setiap pernikahan orang Katolik, meski hanya satu yang Katolik, diatur oleh ketiga hukum ini, yakni hukum ilahi, hukum kanonik, dan hukum sipil sejauh menyangkut akibat-akibat sipil.
Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat manusia sebagai berasal dari Allah sendiri. Contohnya, sifat monogam, indissolubile, kesepakatan nikah sebagai pembuat pernikahan, dan halangan-halangan nikah. Hukum ini mengikat semua orang, tanpa kecuali (termasuk non-katolik). Hukum kanonik atau hukum Gereja adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja, bersifat Gerejawi dan dengan demikian hanya mengikat orang-orang yang dibaptis Katolik saja (kan. 11).
Sedangkan hukum sipil adalah hukum yang berhubungan dengan efek sipil yang berlaku di daerah ybs., misalnya di Indonesia ini, ada hal-hal yang ditetapkan oleh Pemerintah, seperti usia calon, pencatatan sipil, dan sebagainya. Karena pernikahan menyangkut kedua belah pihak bersama-sama, maka orang non-Katolik yang menikah dengan orang Katolik selalu terikat juga oleh hukum Gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur pernikahan warganya, meski hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, pernikahan mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik (dan tentu ilahi).
Kemudian dalam Mutiara Hindu, pernikahan memiliki tujuan mulia yang meliputi dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indra lainnya). Hal itu seperti yang tertuang pada Kitab Manawa Dharmasastra. Bisa dikatakan, sepasang kekasih beragama Hindu mengikat janji setia dalam pernikahan dengan tujuan melaksanakan Dharma. Usai mengikat janji sehidup semati itu, sepasang itu haruslah mau saling berusaha memupuk dan menjaga perkawinan agar tidak kandas di tengah jalan.
Melaksanakan sebuah pernikahan atau wiwaha memiliki arti dan kedudukan yang penting. Oleh umat Hindu, ketika memasuki fase ini dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia karena wiwaha bersifat sakral, wajib hukumnya, dalam arti harus dilakukan oleh setiap orang yang hidupnya normal. Melaksanakan wiwaha bagi umat Hindu yang sudah cukup umur merupakan salah satu amanat dharma dalam hidup dan kehidupan ini. Wiwaha pun tidak akan baik jika dilakukan karena dipaksakan, karena pengaruh orang lain, dan sikap kekerasan yang lainnya.
Keberhasilan yang dapat mengantarkan dalam pernikahan adalah karena sepasang saling mencintai, percaya, menyadari, kerja sama, mengisi, bahu-membahu dan yang lainnya dalam setiap kegiatan rumah tangga. Wiwaha adalah Samskara dan merupakan lembaga yang tidak terpisahkan dengan hukum agama. Menurut ajaran Hindu, sah atau tidaknya suatu pernikahan terkait dengan sesuai atau tidaknya dengan persyaratan yang ada dalam ajaran Hindu. Berikutnya agama Buddha menggambarkan pernikahan sebagai pilihan atau bukan kewajiban.
Bagi mereka yang memilih untuk menikah, agama Buddha menegaskan. Agar melandasinya dengan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), rasa sepenanggungan (mudita) karena pernikahan adalah sebuah ikatan batin antara suami dan istri. Sebagai sebuah ikatan batin maka keberhasilan pernikahan adalah ketika suami dan istri membangun keluarga yang menjadi jembatan yang menciptakan kebersamaan dan kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga, baik dalam kehidupan saat ini maupun kehidupan yang akan datang.
Adapun azas pernikahan yang ditetapkan ajaran agama Buddha adalah monogami seperti yang tertuang dalam Anguttara Nikaya 11.57, ‘Pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi).’ Lantas upacara pernikahan menurut agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara, cetiya, atau rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Nah, dari masa ke masa, pernikahan untuk beda agama itu menjadi tradisi biasa dilangsungkan di beragam daerah di Indonesia.
Ini halnya seperti terjadi di Kota Semarang. Beredar foto viral di media sosial yang memperlihatkan prosesi pernikahan sepasang pengantin yang beda agama. Dalam foto yang diunggah di akun Tiktok @sacha_alya pada Minggu (06/03/2022), tampak dua sejoli melangsungkan pernikahan di sebuah gereja di Kota Semarang. Seorang mempelai wanita terlihat mengenakan gaun panjang berwarna putih dan memakai hijab. Kedua tangannya juga tampak membawa buket bunga. Sementara, mempelai pria mengenakan setelan jas hitam.
Lalu juga ada Nadiem Makarim dan Franka Franklin, Jamal Mirdad dan Lidya Kandou, Nurul Arifin dan Mayong, Yuni shara dan Henry Siahaan, Nadine Chandrawinata dan Dimas Anggara dan lain-lain. Terakhir peristiwa pernikahan Ayu Kartika Dewi (Staf Khusus Presiden Joko Widodo) dengan Gerald Bastian yang juga menyita perhatian publik. Pasalnya, peristiwa nikah juga melalui prosesi akad nikah Islami yang dipandu oleh Prof. Zainun Kamal (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dilanjutkan dengan prosesi Pemberkatan secara Kristen di Gereja.
Memang tak dipungkiri, beberapa pengadilan di Indonesia disebut sudah mulai mengabulkan permohonan pernikahan beda agama dengan bersandar pada UU Adminduk, putusan MA nomor 1400/K/Pdt/1986, dan alasan sosiologis. Pada Juni 2022 misalnya Pengadilan Negeri Surabaya mengesahkan pernikahan beda agama pasangan Islam dan Kristen. Dalam putusannya hakim memerintahkan dukcapil mencatatkan pernikahan tersebut. Pemohon dalam gugatan itu adalah RA sang calon pengantin pria dan EDS yang menjadi calon pengantin perempuan.
Keduanya diketahui menikah sesuai agama masing-masing pada Maret 2022. Tapi saat hendak mencatatkan ke Dinas Catatan Sipil ditolak. Mereka lalu mengajukan penetapan ke PN Surabaya agar diizinkan menikah beda agama. Kemudian pada akhir November 2022, Pengadilan Negeri Tangerang juga mengesahkan perkawinan sepasang pengantin beragama Islam dan Kristen yakni EHS dan MG. Keduanya menikah di sebuah paroki di Rantauprapat pada 23 Juli 2022. Setelah menikah mereka hidup serumah di Serpong, Tangsel, Provinsi Banten. Mereka lantas meminta penetapan dari pengadilan agar Dukcapil mau mencatat pernikahan beda agama keduanya.
Oleh salah satu hakim, pasangan itu diberikan izin untuk mengesahkan perkawinan beda agama menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tangsel. Pengadian Negeri Yogyakarta juga tercatat pernah mengesahkan pernikahan antara AP yang beragama Islam dan NY yang beragama Katolik. Perkawinan keduanya disahkan hakim untuk mencegah terjadinya kumpul kebo. Dari situs Mahkamah Agung pada 16 Desember 2022, pasangan itu menikah pada 3 September 2022 di sebuah gereja di Sleman. Setelah menikah mereka tinggal di Bantul.
Namun keduanya mengalami kendala saat ingin mencatatkan pernikahannya ke Dinas Dukcapil Kota Yogyakarta lantaran perbedaan keyakinan. Karenanya pasangan tersebut meminta penetapan dari PN Yogyakarta dan akhirnya dikabulkan. Baru-baru ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga membuat terobosan serupa. Hakim tunggal mengizinkan pasangan YT yang beragama Islam dan CM yang Katolik mendaftarkan pernikahannya ke Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jaksel. Pasangan itu diketahui sudah menikah di sebuah gereja di Jakarta, akan tetapi ketika hendak mendaftarkan ke Dukcapil, diminta meminta izin terlebih dahulu ke pengadilan.
Hakim mengabulkan permohonan mereka dan memerintahkan Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jaksel untuk mencatatkan Pernikahan Beda Agama Para Pemohon ke Register Pencatatan Pernikahan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Pernikahan tersebut. Teranyar adalah PN Jakarta Pusat yang pada akhir Juni 2023 membolehkan pernikahan beda agama terhadap pasangan JEA yang beragama Kristen dan SW yang menganut agama Islam. Pasangan tersebut menikah di sebuah gereja di Pamulang. Namun kala ingin mendaftarkan ke negara ditolak dengan alasan perbedaan agama. Itu sebabnya mereka mengajukan permohonan ke PN Jakpus.
Pernikahan beda agama memang bukan hal baru. Namun setiap terjadi peristiwa pernikahan beda agama, selalu menimbulkan perdebatan di masyarakat. Perdebatan bukan semata-mata berdasarkan alasan teologis, tapi juga memicu diskusi regulasi. Bagi mayoritas masyarakat Indonesia, pernikahan beda agama bukan hanya tidak lazim tapi juga sudah menyimpang. Namun faktanya peristiwa tersebut tetap ada bahkan kian bertambah. Pelaku nikah bawah tangan terus memperjuangkan kehendaknya untuk tercatat secara resmi dalam dokumen kependudukan.
Dulu pelaku pernikahan beda agama seolah berjuang sendiri meminta penetapan pernikahan ke Pengadilan untuk dilakukan pencatatan. Sekarang ada lembaga konsultan dan LSM yang membantu advokasi agar tercatat di dokumen kependudukan. Sebelum terbitnya Undang-undang Pernikahan (UUP) tahun 1974, pernikahan diatur dengan pelbagai regulasi. Hukum adat bagi WNI, hukum Islam bagi WNI yang beragama Islam, Ordonasi Pemerintah Hindia Belanda bagi WNI yang beragama Kristen, KUHPerdata bagi WNI keturunan Eropa dan Cina. Setelah terbitnya UUP 1974, maka semua regulasi tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Pada Pasal 2 ayat (1) UUP 1974 dinyatakan Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan dalam penjelasannya ditegaskan bahwa tidak ada pernikahan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Dalam pelaksanaanya, pencatatan nikah bagi umat Islam dilakukan oleh KUA, non-muslim dilakukan oleh Kantor Pencatatan Sipil sebagaimana PP No.09 Tahun 1975 Pasal 2. Sampai disini, tidak ada ruang perkawinan beda agama.
BACA JUGA : Yukz Tanya : Aplikasi Poligami dalam Poligini dan Poliandri Lagi Ngetren, Dibenarkan?
Belakangan muncul penafsiran bila perkawinan dilakukan secara dua kali menurut masing-masing agama yang berbeda, masih sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) UUP 1974. Pada tahun 80-an Petrus Nelwan seorang pria beragama Kristen Protestan dan Andi Vony Gani seorang wanita beragama Islam berkehendak menikah. Baik KUA Kecamatan Tanah Abang maupun Kantor Catatan Sipil Jakarta Pusat menolak untuk melaksanakan dan melakukan pencatatan pernikahan mereka dengan alasan beda agama. Merasa tidak puas, keduanya mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam putusannya nomor 062/Srt.Pdt.P/1986/PN.Jak.Pus. menolak permohonan mereka dengan alasan pernikahan beda agama tidak diatur dalam UUP tahun 1974 dan ajaran agama Islam maupun Kristen Protestan tidak membenarkan pernikahan beda agama. Pasangan tersebut tidak menyerah dengan melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Kali ini upaya mereka berhasil dengan dikabulkannya kasasi nomor No.1400 K/Pdt/1986 Pada tanggal 20 Januari 1989. Setidaknya, ada dua poin sangat penting dalam putusan tersebut.
Pertama, menganggap adanya kekosongan hukum pada UUP tahun 1974. Karena tidak diatur pernikahan beda agama. Sehingga diperlukan solusi untuk menghindari penyelundupan nilai-nilai sosial, agama maupun hukum positif. Kedua, Andi Vonny Gani dianggap tidak lagi menghiraukan agama Islam yang dianutnya karena berkehendak melangsungkan pernikahan tidak secara Islam. Sehingga mewajibkan Kantor Catatan Sipil menerima permohonan Pemohon. Putusan MA tersebut kemudian kerap dijadikan dalih untuk mengesahkan perkawinan beda agama.
Putusan tersebut juga serupa dengan Surat Jawaban Panitera MA No.231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019 menanggapi surat permohonan fatwa dari Ditjen Dukcapil Kemendagri pada 10 Oktober 2018. Pada intinya, negara tidak mengakui pernikahan beda agama kecuali perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan, dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya. Kata menundukkan diri serupa dengan kasus perkawinan Petrus Nelwan dan Andi Vony Gani.
Pada tanggal 03 Mei 2019 Ditjen Dukcapil menerbitkan surat No.472.2/3315/DUKCAPIL yang memungkinkan pencatatatan pernikahan beda agama. Kali ini Mahkamah Agung baru saja mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Pernikahan Antar-umat yang Berbeda Agama dan Keyakinan. Surat yang ditandatangani Ketua MA, Muhammad Syarifuddin pada (17/07/2023) ini memerintahkan para hakim untuk ‘tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan’.
Rujukan MA didasarkan pada Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Lalu Pasal 8 UU Perkawinan yang menyebutkan ada enam larangan perkawinan antara dua orang. Salah satunya ‘mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah’.
Lantas Yukz Tanya?
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya sekaligus Pendeta Dr. Disiplin F. Manao, S.H., M.H., D.Th. (13 April 2024)
“A. Pernikahan Menurut Alkitab
Pernikahan adalah lembaga yang ide dan pelaksanaannya dan disahkan oleh Allah, yang pada hakikatnya merupakan penyatuan seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam konsep ‘satu daging’ untuk suatu hubungan seumur hidup. Konsep pernikahan tidak seiman dalam Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru adalah tidak dibenarkan.
Dalam Perjanjian Lama, diketahui bahwa bangsa Israel tidak biasa menikah dengan orang dari bukan sebangsa atau sanak-saudaranya. Demikian juga dalam Perjanjian Baru mengenai pernikahan tidak seiman diatur dalam Kitab II Korintus 6:14 mengatakan: ‘Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya’.
Bahwa menikah dengan pasangan yang tidak seiman atau berbeda agama sangatlah ditentang oleh Alkitab. Allah tidak menginginkan umat Kristen menikah dengan pasangan yang tidak seiman karena hal itu akan membutuhkan pergumulan seumur hidup.
Benar, Tuhan menciptakan manusia dalam rupa dan bentuk yang berbeda, pun soal keyakinan, agar kita dapat saling melengkapi satu sama lain. Sehingga tercipta hidup yang harmonis. Perbedaan tetap harus dihargai sebagai suatu keberagaman yang tidak harus disatukan.
Fakta semakin menunjukan betapa banyak kasus pacaran hingga berujung pernikahan beda agama yang muncul ke permukaan yang akibat perbedaan agama menjadi masalah besar dan membuat pasangan menjadi harus berpisah.
Secara tegas Alkitab menyatakan. Agar setiap orang percaya (orang Kristen) Janganlah berpasangan dengan orang-orang yang tak percaya (bukan orang kristen). Bahkan dalam Kitab 2 Korintus 6:14-15 secara tegas dikatakan : ‘Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?’
B. Konsep Pernikahan Menurut Hukum Negara
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1974, Tentang Pernikahan dirumuskan pada Pasal 1: ‘Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.’
Pasal 2: ‘(1) Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.’
Dikatakan bahwa suatu pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa jika suatu pernikahan telah memenuhi syarat dan ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan pendeta telah melaksanakan pemberkatan (bagi umat Kristen), maka pernikahan tersebut adalah sah terutama dipandang dari segi agama dan kepercayaannya.
C. Pernikahan Beda Agama
Masalah pernikahan beda agama sangat kompleks dan menyangkut unsur-unsur yang tidak hanya rasional, melainkan efektif emosional serta keyakinan pandangan hidup pelbagai pihak. Pernikahan beda agama khususnya pasangan Islam dan Kristen seringkali jauh lebih rumit daripada pasangan beda agama yang lain, misalnya Kristen-Budha atau Kristen-Kong Hu Cu. Hal ini didasari adanya sejarah dan politik masa lalu Indonesia.
Perjumpaan Islam-Kristen baik dari segi kesejarahan maupun pada zaman politik kolonial menyisakan banyak luka yang mungkin belum sepenuhnya sembuh. Oleh karena itu menyebabkan hubungan Islam-Kristen di Indonesia selalu mengalami dinamika yang menarik, termasuk dalam perkawinan beda agama.
Jadi berdasarkan penjelasan diatas, pernikahan yang dilakukan diwilayah hukum Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya pernikahan beda agama tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar Undang-Undang.
Tentang pernikahan beda agama tercantum pada Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tanggal 28 Juli 2005 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 (c) dan Pasal 44 pun sejalan dengan afirmasi Al Qur’an tersebut, dengan menetapkan bahwa pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah.”
Ulama Ust. Nurul Hanafi (13 April 2024)
“Kalau menurut agama Islam tidak boleh karena merujuk dari Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 221.”
Ulama Ust. Jaya (13 April 2024)
“Seorang wanita muslimah harus nikah dengan sesama muslim atau non muslim yang sudah muallaf dibolehkan. Kalau seorang pria muslim disyariatkan juga untuk menikahi juga seorang muslimah. Ada diperbolehkan juga bisa menikahi wanita ahli kitab atau Kristen ortodoks. Tapi saat ini yang mengganjal dan dipertanyakan, apakah masih ada para wanita ahli kitab yang murni ini?”
Ulama Ust. Jony (13 April 2024)
“Tidak diakui agama dan juga negara. Jadi tidak sah.”
Ulama Ust. Munawir Ngacir (13 April 2024)
“Namanya beda menurut situ cara memahami agama bagaimana?”
Ulama Ust. Saiful (13 April 2024)
“Kalau dalam kajian fiqih, mayoritas ulama berpendapat bahwa menikahi perempuan kitabiyah diperbolehkan. Sementara Umar dan Ibnu Umar mengharamkannya. Apabila perempuannya muslimah sementara pihak laki2nya kitabiyah para ulama sepakat mengharamkannya.”
Ulama Ust. Lutfi Faridil Aftros S.Pd.I. (13 April 2024)
A. Pengertian Nikah
Secara kebahasaan, nikah bermakna ‘berkumpul’. Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab adalah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya.
Menurut Ulama asy-Syafi’iyah, nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan (wathi‟) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna. Dalam Undang-Undang Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 dijelaskan bahwa ‘Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah 20 tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ (UU No. 1 Tahun 1974, 2000:1-2).
B. Tujuan Nikah
Disyariatkannya tujuan pernikahan yang terdapat dalam QS. Ar rum ayat 21 menyebutkan: ‘dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.’ QS. Ar-Rum: 21 (Depag RI, 1989; 644). Tujuan utama pernikahan adalah ‘menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas’.
C. Dasar Hukum Pernikahan
Adapun dasar hukum disyariatkannya pernikahan adalah didasarkan oleh AlQur’an, Hadist. 23 1. Al-Qur’an, sebagaimana Firman Allah SWT: (QS. Al-Nisa’; 3). ‘Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja’(Depag RI, 1989; 115).
D. Al-Hadits atau Al-Sunnah
Diantara hadis-hadis atau sunnah yang menerangkan tentang kesunnahan nikah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas’ud: ‘Dari Ibnu Mas‟ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat’ (Muttafaq Alaih) (Al-Shan’any, 1980; 149).
E. Rukun Nikah
Lima macam yaitu Calon suami, Calon istri, Wali nikah, Dua orang saksi dan Ijab qabul
F. Nikah Beda Agama
Mengenai hukum pernikahan beda agama, dalam ajaran Islam wanita maupun laki-laki tidak boleh menikah dengan yang tidak beragama Islam (Q.S. Al Baqarah [2]: 221). ‘Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. (Q.S. Al Baqarah [2]: 221)’.
Selain itu, Fatwa MUI 4/2005 juga menegaskan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
G. Dampak Nasab Anak dalam Pernikahan Beda Agama
Dalam kasus pernikahan beda agama kedudukan anak dari hasil pernikahan tersebut jadi membingungkan/tidak jelas. Pasalnya agamadari keturunan/anak tersebut nantinya mengikuti siapa? ‘Ayahnya atau ibunya’ dan juga keturunan/anak tersebut tidak memiliki keabsahan. Berdasarkan peraturan yang ada di Negara kita adapun hukum tersebut sebagai berikut:
Peraturan pernikahan di indonesia pasal 2 UUP No.1/1974 dan pasal 10 ayat (2) PP No.9/1975 menyebutkan setiap perkawinan dicatatkan sehingga memiliki keabsahan legal formil. Selain itu, pernikahan pun harus dilaksanakan menurut hukum agama masing-masing, sehingga pernikahan lintas agama pun tidak memiliki keabsahan menurut KHI pasal 40 (c) dan pasal 44. Anak yang lahir dari hasil pernikahan yang tidak memiliki keabsahan menurut agama maupun negara berakibat tidak memiliki hak nasab ayahnya dan hak keperdataan lainnya.”
Ulama Ust. Yandi (13 April 2024)
“Kalau saya ikut pendapat pada fatwa MUI, haram atau tidak sah.”
Ulama Ust. Jasdi (13 April 2024)
“Pernikahan beda agama menurut Islam maupun Kristen adalah tidak sah. Itu sebabnya mereka hanya dicatat dalam catatan sipil. Menurut Islam pernikahan baru sah ketika dilakukan dengan pasangan yg seagama. Demikian juga menurut ajaran Kristen.”
Ulama Ust. Muhammad Nur Maulana (13 April 2024)
“Pernikahan adalah ibadah maka harus seagama.”
Advokat sekaligus Sekretaris DPC Peradi Pekalongan Damirin, S.H.
“Kalau dalam hukum Islam jelas dan tegas itu dilarang. Baik dalam Syariat, KHI dan Fatwa MUI, pernikahan beda agama adalah haram. Kalau dalam segi hukum, banyak pertimbangan jika yang muslim mau menikah dengan cara meninggal secara muslim. Maka pengadilan akan mengabulkan permohonan pernikahan tersebut dan nanti pernikahan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, bukan di KUA.
Masyarakat Wira (13 April 2024)
“Aku kalau aku sih tidak setuju perihal nikah beda agama. Karena sama halnya mempermainkan agama.”
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, S.H., LL.M., Ph.D. (20 Juli 2023)
“SEMA nomor 2 tahun 2023 tersebut sarat dengan intervensi politik yang bertentangan dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan serta melanggar hak asasi manusia.”
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh (20 Juli 2023)
“Saya mendukung aturan teranyar ini karena meyakini bahwa peristiwa pernikahan merupakan peristiwa keagamaan. Jika Islam menyatakan pernikahan beda agama tidak sah maka tidak bisa dicatatkan secara resmi oleh negara.
Direktur Program Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) sekaligus Konselor Pasangan Beda Agama Ahmad Nurcholis (20 Juli 2023)
“Terbitnya SEMA merupakan kemunduran yang luar biasa bagi Mahkamah Agung. Pasalnya dibandingkan lembaga yudikatif lain seperti Mahkamah Konstitusi, MA tergolong progresif dalam hal perkawinan beda agama dengan terbitnya putusan MA nomor 1400/K/Pdt/1986. Putusan itu menyatakan perkawinan beda agama sah di Indonesia dengan jalan penetapan pengadilan yang kemudian menjadi yurisprudensi bagi hakim lain dalam memutus perkara serupa.
Jadi sebetulnya putusan MA tahun 1986 itu memberikan jalan keluar. Karena itu saya kecewa dan terkejut kenapa Mahkamah Agung justru ikut-ikutan Mahkamah Konstitusi yang kurang bersahabat terhadap pasangan beda agama.”