Jakarta, mataberita.net — Janji kampanye Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka direalisasi berupa Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Janji kampanye ini rupanya menjadi pertimbangan tersendiri bagi keduanya. Pasalnya memang tingkat stunting yang pernah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy pada tahun 2023 lalu mencapai 21,5%. Ini merupakan angka stunting yang cukup tinggi. Sehingga program ini rasanya tepat karena sudah diterapkan Korea Selatan selama puluhan tahun. Ya mungkin bisa dikatakan ini meniru negara tersebut. Tapi ini juga menjadi cara Prabowo dalam mengajak anak Indonesia untuk bersyukur.

Tidak semua masyarakat Indonesia memiliki kemampuan finansial yang cukup terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini dapat terlihat dari penampakan salah satu pelajar asal Papua yang bersekolah di Semarang. Program MBG memberikan dampak positif bagi Iwan Mengwo, seorang pelajar SMK Bagimu Negeri Semarang, Jawa Tengah. Pelajar asal Merauke, Papua ini merasa bersyukur. Karena melalui program tersebut, dia dapat menikmati makanan tiga kali sehari. “Iya saya senang,” ujar Iwan saat ditemui di SMK Bagimu Negeri Semarang, pada Jumat (10/01/2025). Dia mengungkapkan. Sebelumnya dia terbiasa makan hanya satu kali sehari di kampung halamannya. Paling banyak, dia hanya bisa makan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan malam.

“Itu makan pagi dan malam,” ungkap Iwan. Dia juga merasakan perbedaan dalam variasi masakan. Menurutnya, di kampung halamannya, makan nasi adalah sesuatu yang mewah. “Kalau di Merauke kadang sagu, kadang pisang,” tambahnya. Senada dengan Iwan, Laurensius, siswa SMK Bagimu Negeri Semarang yang juga berasal dari Merauke, Papua, mengungkapkan pengalamannya. Dia merasakan. Porsi makanan dalam Program MBG terasa kurang, sehingga dia merasa ingin menambah. “Dibandingkan di kampung halaman, enak disini. Saya suka. Iya pingin nambah,” ucapnya. Dia juga bersyukur mendapatkan makanan bergizi dari Pemerintah.
Kemudian juga ada sebuah video viral di media sosial, memperlihatkan salah satu siswa di SDN 1 Bone Raya, Kabupaten Bone Bolango, saat proses pembagian Program MBG oleh Pemerintah. Dia enggan memakan makanan yang dibagikan, dan mengatakan. Dia akan membawa pulang untuk diberikan kepada sang ibu. Ya sebut saja siswa kelas 3 itu bernama Muhammad Suleman Datau. Dia mengaku sangat senang dan bersyukur. Karena mendapat makanan gratis yang bisa diberikan kepada sang ibu. Bahkan dia juga mengaku dalam sehari kadang hanya makan sekali saja. Diketahui kondisi kehidupan Suleman Datau dan sang ibu terbilang sulit. Dengan adanya program MBG ini, dia mengaku sangat bersyukur karena membantu masyarakat, khususnya untuk anak sekolah.

Kondisi semacam ini tentu harus menjadi perhatian Pemerintah secara serius. Apalagi persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,79 persen. Sedangkan, pola makan yang disarankan oleh Ahli Gizi sebetulnya adalah dengan membagi porsi makan harian sesuai kebutuhan kalori menjadi 3 kali makan besar dan diselingi snack 2 kali berupa buah-buahan jika diperlukan. Makanan tersebut baiknya dikonsumsi secara teratur dengan kandungan gizi yang seimbang. Kandungan gizi seimbang harus mengandung karbohidrat, protein nabati, protein hewani, lemak baik dan serat dalam 1 porsi makan. Maka tidak benar apabila seseorang mengurangi atau menghilangkan salah satu kandungan tersebut untuk pola makan sehari-hari.
Hal itu karena semua kandungan tersebut dibutuhkan oleh tubuh dan tidak akan meningkatkan berat badan atau menimbulkan masalah kesehatan bila dimakan dalam porsi yang tidak berlebihan. Inilah yang menjadi dasar untuk mencapai target penurunan angka stunting. Karena Pemerintah harus melakukan intervensi pada beberapa hal, seperti gizi anak, kondisi rumah, ketersediaan air, pendampingan calon pengantin sebelum menikah dan lainnya. Selain itu juga bisa dilakukan pencegahan diantaranya :
- Menjamin nutrisi ibu hamil yang seimbang
- Memberikan ASI eksklusif untuk bayi
- Memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) yang bergizi
- Mengajarkan edukasi gizi kepada orang tua
- Memantau tumbuh kembang anak secara teratur
- Menjaga kebersihan lingkungan
Oleh karenanya program MBG yang digawangi Presiden Prabowo mengarah pada anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Program semacam demikian sudah diterapkan di Korea Selatan selama puluhan tahun. Primawan Satrio yang baru-baru ini menarik perhatian publik melalui unggahan di akun media sosialnya, X. Dalam unggahan tersebut, dia membagikan pengalaman menarik tentang program MBG di sekolah-sekolah Korea Selatan. Dia pun menyertai lengkap dengan foto menu makan siang anaknya yang terdiri dari nasi, kimchi, sayur tahu, telur rebus, acar, dan susu. Unggahan ini menjadi tanggapan atas postingan akun @barengwarga yang menampilkan menu MBG di Indonesia, yang meliputi nasi, tempe goreng, telur rebus, jeruk, dan sayur buncis dengan wortel.

Seorang warganet kemudian bertanya kepada Primawan tentang lamanya waktu yang dibutuhkan Korea Selatan untuk mencapai tahap ini. Dia menjelaskan. Program tersebut dimulai pada 1953 sebagai bantuan internasional bagi anak-anak korban Perang Korea, dan baru pada 1981 Pemerintah Korea Selatan secara resmi mengelola program ini melalui School Meals Act. Perkembangannya terus berlanjut hingga pada 2019, Program MBG sudah mencakup semua jenjang pendidikan dari SD hingga SMA. Menariknya, perjalanan panjang ini menunjukkan proses Pemerintah Korea Selatan secara bertahap memperluas cakupan programnya. Seluruh SD sudah mendapatkan layanan ini pada 1998, disusul SMA pada 2000, dan SMP pada 2003.
Kini, menu makan standar di sekolah-sekolah Korea Selatan meliputi nasi, sup, kimchi, dua hingga tiga lauk pauk, dan tambahan susu atau makanan penutup. Semuanya didukung oleh anggaran negara dan dikelola langsung oleh pihak sekolah. Primawan juga mengungkapkan. Biaya program makan di sekolah Korea Selatan termasuk dalam SPP sekitar Rp 1,6 juta per bulan, yang mencakup makan tiga kali sehari, antar jemput, dan berbagai kegiatan sekolah tanpa biaya tambahan. Menurutnya, langkah awal Indonesia dalam menyediakan menu MBG di beberapa sekolah adalah hal positif, meskipun masih panjang perjalanan yang harus ditempuh.

Belajar dari pengalaman Korea Selatan, Indonesia perlu menekankan konsistensi kebijakan, investasi dalam fasilitas dan edukasi nutrisi bagi masyarakat untuk memastikan keberlanjutan program ini. Kisah sukses Korea Selatan mengajarkan bahwa perubahan besar memerlukan waktu, dedikasi, dan kerja sama dari berbagai pihak. Perlu diketahui, saat itu, Kanada, UNICEF, CARE, dan USAID memberikan bantuan makan gratis ke beberapa SD di Korea Selatan selama 20 tahun. Alasannya karena sebanyak 620.000 siswa SD mengalami kekurangan gizi akibat peperangan. Adapun menu makanan bergizi gratis yang diberikan saat itu adalah susu bubuk yang dicampur dengan air, bubur jagung, roti jagung, roti terigu, adonan yang ditarik dengan tangan, dan biskuit.
Setelah bantuan MBG dihentikan, Korea Selatan mencoba melanjutkan layanan MBG di sekolah-sekolah pada 1973. Saat itu, Pemerintah Korea Selatan tidak bisa mengalokasikan banyak anggaran untuk menyediakan menu MBG karena situasi ekonomi yang sulit dan kurangnya pemahaman tentang layanan makanan di sekolah. Oleh karena itu, MBG dilakukan secara mandiri oleh sekolah-sekolah pada tahun 1973 hingga 1980. Masing-masing sekolah menyediakan tenaga kerja dan lauk pauk dari hasil bumi yang tersedia. Beberapa sekolah-sekolah bahkan berkoordinasi dengan peternakan ayam, babi, ikan, buah-buahan, dan sayuran untuk pemenuhan menu MBG. Bahkan wali siswa juga memberikan sumbangan barang demi keberlanjutan program tersebut.
BACA JUGA : Yukz Tanya : Pers dan Demokrasi, Kesatuan Tak Bisa Dipisahkan untuk Bijak
Dengan begitu, sekolah-sekolah dapat menyediakan menu makanan bergizi kepada siswa berupa roti atau mi, lauk pauk, susu atau soymilk. Namun, pada 1977, keracunan makanan masal terjadi di 53 sekolah yang mengakibatkan seorang siswa meninggal dunia. Keracunan itu disinyalir karena roti yang tersedia di layanan makanan sekolah. Selanjutnya, pada 1981, Pemerintah Korea Selatan mendirikan lembaga layanan makanan sekolah. Undang-Undang Makanan Sekolah juga disahkan untuk memperluas dan membangun sistem pangan sekolah secara stabil. Dengan adanya kebijakan tersebut, anggaran untuk mendukung fasilitas layanan makanan sekolah mulai diberikan.
Penempatan ahli gizi untuk memastikan manajemen kebersihan dan keselamatan di daerah terpencil dan pedesaan juga dilakukan. Pada periode ini, layanan makanan sekolah mulai meluas diantara sekolah dasar. Selama 1991 hingga 2002, Pemerintah Korea Selatan memperluas layanan makanan baik di SD, SMP, dan SMA. Total, sebanyak 765 sekolah dasar berhasil melaksanakan program layanan makanan di sekolah itu. Pada 1998, ketika semua sekolah dasar berhasil menerapkan layanan makan bergizi secara nasional, program ini kemudian diperluas di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Hingga 2003, seluruh sekolah dari berbagai tingkatan resmi melaksanakan layanan MBG.
Seiring dengan meluaskan cakupan program ini, pemerintah merevisi Undang-Undang Makanan Sekolah pada 1996. Tujuannya untuk menyediakan makanan yang tidak hanya berasal dari dapur sekolah, tetapi juga dengan mengangkut makanan dari luar sekolah oleh kontraktor. Sejak layanan makan sekolah berhasil diterapkan di seluruh tingkatan sekolah, Pemerintah Korea Selatan mulai meningkatkan kualitasnya. Pada November 2003, Kementerian Pendidikan bekerja sama dengan Kantor Koordinasi Kebijakan Pemerintah untuk menyiapkan Rencana 5 Tahun Komprehensif untuk Meningkatkan Layanan Makanan Sekolah.