Jakarta, mataberita.net — PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) kembali menegaskan komitmennya dalam mendorong pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Dalam ajang Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, PGE meluncurkan paradigma baru yang mengutamakan kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat transisi energi menuju target Net Zero Emission (NZE) 2060.
Pada sesi pleno forum tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut B. Pandjaitan, menegaskan bahwa percepatan transisi energi memerlukan upaya kolektif yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, industri, hingga investor. Menurut dia, masa depan transisi energi Indonesia bergantung pada komitmen kolaboratif dari semua pemangku kepentingan.
Sejalan dengan visi tersebut, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, menambahkan bahwa panas bumi merupakan solusi terbaik bagi Indonesia dalam perjalanan menuju energi bersih. Karakteristik panas bumi yang mampu menjadi sumber energi baseload menjadi alasan kuat mengapa Indonesia perlu mengoptimalkan potensi ini melalui kolaborasi yang kuat antar seluruh pemangku kepentingan.
Untuk memaksimalkan potensi panas bumi yang ada, Direktur Utama PGE, Julfi Hadi, menyampaikan bahwa paradigma baru dalam pengembangan energi panas bumi dibutuhkan untuk membuat investasi di sektor energi terbarukan ini lebih menarik dengan tingkat tarif yang ada.
“Selama ini tidak ada cara baru dalam pengembangan panas bumi, padahal kita perlu mempercepat pengembangan panas bumi dalam 6-8 tahun ke depan untuk mencapai target kapasitas panas bumi nasional sebesar 7 GW pada 2033. Kita memerlukan terobosan untuk bisa menurunkan biaya pengembangan panas bumi dan mengubah paradigma melalui model bisnis yang baru,” tuturnya dalam keterangan tertulis, pada Senin (09/09/2024).
Menurut dia, perubahan paradigma dalam pengembangan energi panas bumi menjadi penting, karena dengan tarif saat ini perlu ada pendekatan yang lebih optimal untuk meningkatkan profitabilitas pengembang (independent power producers/IPP). Paradigma baru yang ditawarkan PGE mengedepankan tiga strategi utama untuk mencapai hal ini.
Pertama, strategi pembaruan model bisnis melalui pengembangan bertahap di wilayah kerja panas bumi untuk meningkatkan peluang keberhasilan dan optimalisasi biaya, mengingat pengembangan langsung dalam skala besar biasanya sering menimbulkan pembengkakan biaya.
Kedua, strategi menurunkan biaya ongkos pengembangan per unit (USD per MW) melalui penggunaan teknologi baru dan menaikkan volume operasi melalui kolaborasi antar-pengembang panas bumi untuk membangun pasar dan konsolidasi permintaan.
Ketiga, strategi diversifikasi melalui pengembangan bisnis terkait dan manufaktur lokal. Pengembang panas bumi perlu ekspansi bisnis non-kelistrikan (off-grid) seperti hidrogen hijau dan amonia hijau dan mempromosikan pengembangan teknologi dan manufaktur lokal untuk komponen utama pembangkit listrik panas bumi di dalam negeri.
Di samping itu, Julfi mengingatkan, penting untuk mempertimbangkan insentif lainnya seperti akses ke pinjaman lunak (concessional loan) dan penjualan kredit karbon internasional. Hal ini juga memerlukan dukungan pemerintah untuk memberikan insentif tambahan, terutama dukungan untuk peningkatan kandungan lokal dan infrastruktur.
“Pengembang panas bumi perlu meninggalkan paradigma dan model bisnis lama yang masih memakai pendekatan business as usual dan membatasi kolaborasi yang menyebabkan tingkat pengembalian (internal rate of return) marginal. Kita perlu berkembang dan berkolaborasi bersama untuk menjadikan panas bumi bisa memainkan peran penting dalam transisi energi nasional,” papar dia.
Dengan sumber daya yang dimiliki, PGE optimistis dapat menjadi motor penggerak dan pemimpin percepatan pengembangan panas bumi nasional. PGE saat ini mengelola 15 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang 672 MW.
Kapoasitas tersebut akan dinaikkan menjadi 1 GW dalam dua sampai tiga tahun ke depan. Dengan total potensi cadangan panas bumi sebesar 3 GW yang siap dikembangkan dari 10 WKP yang dikelola sendiri.
“PGE sudah walking the talk dalam mewujudkan paradigma baru. Sudah banyak hal yang kita lakukan seperti berkolaborasi dalam eksplorasi sumber daya, mendorong pengembangan teknologi baru di Indonesia, dan mengembangkan manufaktur lokal. PGE juga menginisiasi proyek percontohan hidrogen hijau di Ulubelu,” imbuh Julfi.