Jakarta, mataberita.net- Soal triangle political game, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Deddy Yevry Sitorus menyebut bahwa di balik keputusan Presiden Joko Widodo kembali merombak sejumlah menterinya di menit-menit akhir jelang transisi pemerintahan ke Prabowo Subianto. Triangle yang dimaksud yakni menghadapi Prabowo untuk lima tahun ke depan. Kedua, melumpuhkan PDIP, dan ketiga menguasai sumber pendanaan politik.
“Kesimpulan saya reshuffle ini adalah triangle political game: menghadapi Prabowo, melumpuhkan PDIP dan menguasai sumber pendanaan politik. Alasan lainnya menurut saya tak lebih dari omong kosong!” Ucap Deddy, pada Senin (19/8).
Pengurus lamabang banteng itu, mengaku tak melihat alasan etis, substansial, atau teknis birokratis di balik langkah tersebut. Justru, kata dia, Jokowi tengah mempersiapkan perlawanan untuk Prabowo lima tahun ke depan.
Dimana upaya tersebut dibaca lewat pergantian Menkumham Yasonna Laoly dengan Politikus Partai Gerindra, Supratman Andi Agtas.
Baca Juga : Foto : Bukti Nyata Bahwa Operasi Prabowo Tidak Gagal
Dengan menunjuk Menkumham baru, Deddy membaca upaya untuk meloloskan RUU MD3 dengan tiga tujuan. Pertama, agar Golkar bisa mendapat jatah kursi Ketua DPR. Kedua, Jokowi ingin lebih mudah membagi-bagikan jabatan di internal Golkar. Ketiga, untuk mengendalikan partai-partai yang akan menggelar Munas atau Kongres dan memilih ketua baru. Beberapa di antaranya ada PKB, Golkar, dan NasDem.
“Peran Menkumham sangat penting dalam pengesahan kepengurusan parpol sehingga jika tidak tunduk, beresiko tidak bisa ikut pilkada atau tidak disahkan kepengurusannya,” sebut Deddy Yevry.
Sementara, pergantian Menteri ESDM dilakukan murni sebagai upaya untuk menguasai konsesi tambang ke depan. Termasuk pendanaan partai politik dan memastikan sumber ekonomi ke depan. “Hal ini penting untuk pendanaan politik ke depan, menguasai ormas dan oligarki serta memastikan sumber ekonomi ke depan,” kata Deddy.
Juru Bicara PDIP, Chico Hakim menilai reshuffle kali ini lebih kuat nuansa politik dibanding konstitusi. Menurut Chico, reshuffle persis dilakukan 43 hari menjelang transisi pemeirntahan.
Sehingga, sulit bagi menteri baru memahami kinerjanya dalam waktu yang cukup sempit tersebut. “Dalam waktu yang sangat singkat tersebut, sangatlah sulit untuk mewujudkan efektivitas pemerintahan, kecuali ada agenda-agenda politik tersembunyi di dalamnya,” sebut Chico..
Jokowi tak etis mengganti menterinya di akhir masa jabatan. Sebab, hal itu mestinya dilakukan oleh Presiden baru.
“Dalam konteks ini, reshuffle dimaknai sebagai upaya Presiden Jokowi menempatkan orang-orangnya, yang nantinya akan menimbulkan persoalan “ewuh pakewuh” ketika pemerintahan baru terbentuk dan presiden baru harus membentuk kabinetnya sesuai hak prerogatifnya,” ucap Chico.