Jakarta, mataberita.net — Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai rencana pemerintah mengubah skema pemberian subsidi untuk KRL Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai tahun depan akan semakin membebani kelas menengah.
Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto mengatakan meski belum diumumkan secara resmi, tarif KRL pasti naik jika subsidi berbasis NIK diterapkan. Akibatnya, daya beli kelas menengah akan semakin tertekan.
“Impikasinya ya akan semakin menurunkan kelas menengah lagi dalam situasi ekonomi yang kita sedang perlambatan. Menurut saya wacananya (subsidi KRL berbasis NIK) tidak tepat dilempar pada saat kelas menengah sedang menderita seperti sekarang,” tuturnya dalam Diskusi Publik INDEF “Kelas Menengah Turun Kelas”, pada Senin (09/09/2024).
Eko mengatakan kelas menengah dibuat bingung dengan kebijakan pemerintah yang tidak terorganisir. Pasalnya saat rencana skema pemberian subsidi untuk KRL Jabodetabek diubah menjadi berbasis NIK mengemuka, pemerintah juga memberikan sinyal rencana pembatasan BBM subsidi.
BACA JUGA : Erick Thohir Pastikan Tidak Ada PHK Terhadap Karyawan Angkasa Pura Usai Merger Jadi Angkasa Pura Indonesia
Padahal, sambung Eko, jika BBM subsidi dibatasi maka masyarakat diharapkan beralih ke transportasi umum. Namun, subsidi KRL justru juga ingin dibatasi dengan berbasis NIK dengan alasan agar subsidi tepat sasaran.
“Di BBM ada isu tidak tepat sasaran, di KRL ada isu tidak tepat sasaran. Terus mau pindah kemana masyarakat? Kan harapannya kalau Anda tidak kuat dengan pembatasan BBM, silahkan pindah ke transportasi publik, lah transportasi publiknya juga diseleksi,” katanya.
Tak hanya soal subsidi, Eko mengatakan kelas menengah juga berpotensi semakin tertekan dengan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai tahun depan. Ia mengatakan sebelum PPN naik jadi 12 persen saja, konsumsi kelas menengah sudah tertekan. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan akan tertekan.
“Kalau pelaksanaannya (PPN naik jadi 12 persen) dilakukan pakai kacamata kuda tanpa melihat realitas ekonomi yang sedang turun ini, ya kita mungkin akan mulai berbicara pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen tahun depan,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta orang pada 2024, turun dibandingkan 2023 yang mencapai 48,27 juta orang..
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar mengatakan penyebab utama turunnya kelas menengah tahun ini adalah pandemi Covid-19. Tercermin dari data yang dimiliki, penurunan jumlah penduduk kelas menengah berkurang sejak 2019.
Menurut dia, efek pandemi pada 2020 lalu masih terasa sampai saat ini, terutama kepada perekonomian. Masyarakat kelas menengah pun turut merasakan dampaknya.
“Kan tadi sudah dilihat dari 2014 ke 2019 kan naik (kelas menengah) dari 41 persen jadi 53 persen. Setelah pandemi, dia turun bertahap, itu yang saya tadi bilang, ada long covid buat perekonomian,” imbuhnya dalam konferensi pers, pada Jumat (30/08/2024).