Home Daerah Nasional Internasional Ekonomi Infografis Sastra Science Olahraga Otomotif Teknologi Mataberita TV
Info Terkini : PT. Mata Digital Internasional, www.mataberita.net, independent dalam berita | PT. Mata Digital Internasional melalui website www.mataberita.net melayani Jasa Produksi dan Penayangan Film, Company Profile, Dokumenter, Talkshow, Monolog dan TVC | Selain itu juga melayani Management Artis, Penyanyi, Chef, Aktor, Aktris, Band dan lainnya | Kami juga melayani Konsultasi Hukum, Manajemen, Broadcasting dan lainnya | Ditambah pula melayani Pelatihan Berbagai Bahasa diantaranya Inggris, Indonesia, Jerman, Korea, Jepang, Mandarin, Arab dan sebagainya | Tak ketinggalan pun melayani Pelatihan atau Diklat Jurnalistik, Bahasa, Broadcasting, Public Speaking, Design, Desain Grafis, Editing, IT, Hukum dan sebagainya | Nah... Kami juga menjual berbagai produk makanan dan minuman seperti Pempek Palembang, Kue Semprong, Thai Tea, Green Tea, Espresso, Cappucino, Americano dan masih banyak lagi | Yang suka berbusana Batik khas Pekalongan juga bisa memesan ke Kami yaaa... | Alami kendala Kompor Gasnya juga bisa dilayani oleh Kami | So kunjungi terus website kami di www.mataberita.net | Upz sampai lupa deh, hubungi Kami bisa ke (021) 89229850 atau bisa datang ke Jl. Kav. H. Umar II no 319, Teluk Pucung, Bekasi Utara, Kota Bekasi yaaa...| Kami juga melayani by seluler WhatsApp dengan menugaskan PIC Ayu Yulia Yang di 08567971900 | Percayakan Kami sebagai Mitra, Partner dan Relasi Anda...

PDI Perjuangan Tolak Keras Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Ribka : Membunuh Jutaan rakyat Indonesia

PDI Perjuangan Tolak Keras Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Ribka : Membunuh Jutaan rakyat Indonesia
PDI Perjuangan Tolak Keras Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Ribka : Membunuh Jutaan rakyat Indonesia

Jakarta, mataberita.net- Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ribka Tjiptaning, menolak keras usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 Soeharto.

“Kalau pribadi oh saya menolak keras. Iya kan?” kata Ribka di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada Selasa (28/10/25).

Pasalnya Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah Indonesia dan telah gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara. Gelar ini merupakan bentuk penghargaan negara tertinggi atas jasa, pengabdian, dan karya luar biasa yang berdampak besar bagi kemerdekaan atau pembangunan bangsa.

Mekanisme pemberian gelar Pahlawan Nasional melalui pengusulan, verifikasi atau penilaian, sidang dewan gelar hingga penerbitan Keppres oleh presiden.

Ribka mempertanyakan alasan agar Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun itu untuk diberi gelar Pahlawan Nasional.  “Apa sih hebatnya si Soeharto itu sebagai pahlawan hanya bisa memancing, eh apa membunuh jutaan rakyat Indonesia,” bebernya.

Ribka menilai, mantan Panglima Komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) itu tak pantas diberi gelar Pahlawan Nasional. Sebab, selama ia berkuasa menjadi presiden, banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi.

Baca Juga :

Harta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Naik Pesat Usai Pajak Naik, Totalnya Tak Main Main

“Sudah lah, pelanggar HAM, membunuh jutaan rakyat. Belum ada pelurusan sejarah, sudah lah enggak ada pantasnya dijadikan pahlawan nasional,” ucap Ribka.

Soeharto adalah seorang perwira militer dan politikus yang menjabat sebagai Presiden Indonesia kedua. Pemerintahannya selama 31 tahun dan 70 hari membuatnya menjadi presiden dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Indonesia.
Soeharto adalah seorang perwira militer dan politikus yang menjabat sebagai Presiden Indonesia kedua. Pemerintahannya selama 31 tahun dan 70 hari membuatnya menjadi presiden dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Indonesia.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto.

Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia mengatakan, gelar itu seharusnya diberikan kepada individu yang telah berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, menjaga keutuhan negara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan moralitas publik.

“Selama masa Orde Baru, ia (Soeharto) menjalankan pemerintahan dengan pola kekuasaan yang otoriter dan represif yang berdampak luas terhadap kehidupan rakyat Indonesia,” kata Jane, pada Senin (27/10/2025).

KontraS mencatat, sejumlah kebijakan dan operasi keamanan pada masa pemerintahan Soeharto mengakibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM).  Bentuk pelanggaran itu, antara lain, pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, serta perampasan tanah dan diskriminasi sosial yang sistematis.

Menurut Jane, penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menemukan sedikitnya sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto.

Peristiwa itu antara lain: peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998).

Kemudian, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999);

Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).

Tonton Juga : PDIP Tolak Gelar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Selain itu, kata Jane, pada masa Orde Baru juga terjadi berbagai pelanggaran HAM lain, seperti pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin (1996), penembakan warga dalam pembangunan Waduk Nipah di Madura (1993), penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996, hingga pembantaian di Santa Cruz, Dili (1991).

KontraS juga menyoroti pembredelan media massa, penggusuran warga untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (1971), pelarangan aktivitas organisasi mahasiswa melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974–1975), serta pemberangusan organisasi kemasyarakatan lewat UU No. 5 Tahun 1985.

“Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional berarti juga menutup mata terhadap luka sejarah dan trauma kolektif yang belum pulih, khususnya bagi perempuan korban kekerasan negara,” pungkas Jane

 

Leave a Reply