Jakarta, mataberita.net — Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pembentuk Undang-undang (UU) untuk mengeluarkan aturan ketenagakerjaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Regulator, yakni pemerintah dan DPR diminta membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan pemisahan ini diperlukan untuk menghindari perhimpitan norma antara UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan yang telah ada, terutama pada aspek yang diubah dalam UU 6/2023.
Mahkamah menilai norma-norma baru dalam UU Cipta Kerja sulit dipahami oleh masyarakat awam dan pekerja. Jika masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan, maka tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
BACA JUGA : Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Ungkap Cara Menambah Produksi Minyak Sebanyak 200 Ribu Barrel Oil per Hari
“Dengan Undang-undang baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi Undang-undang ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan,” bunyi pertimbangan hukum MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny, Kamis kemarin (31/10/2024).
“Selain itu, sejumlah materi atau substansi peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah Undang-undang, termasuk dalam sejumlah peraturan pemerintah, dimasukkan sebagai materi dalam Undang-undang ketenagakerjaan,” ujar Enny.
Putusan ini diberikan dalam perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dan sejumlah konfederasi buruh lainnya.
Dalam keputusan sepanjang 687 halaman tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materiil dan meminta agar segera dibentuk UU ketenagakerjaan yang baru dan terpisah dari UU Cipta Kerja.
MK juga menguraikan enam klaster dalil permohonan dalam putusan ini, antara lain terkait penggunaan tenaga kerja asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya, upah, pemutusan hubungan kerja, dan kompensasi.
Para hakim konstitusi menyatakan dengan adanya UU baru, masalah ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan substansi ketenagakerjaan dapat diatasi.
MK juga membahas jangka waktu PKWT yang saat ini menjadi lima tahun. Norma ini diatur dalam Pasal 56 ayat (3) UU 6/2003 dan dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian perlindungan hukum. Untuk itu, MK menyatakan bahwa dalil permohonan terkait PKWT ini juga beralasan secara hukum untuk sebagian.
Selain itu, terkait tenaga kerja asing, MK menegaskan pentingnya memperhatikan prioritas bagi tenaga kerja Indonesia dalam norma Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan bahwa penggunaan frasa “hanya dalam” pada ketentuan ini dapat menimbulkan ketidakpastian.
MK pun mengabulkan sebagian dalil pemohon dan menekankan pentingnya pengutamaan tenaga kerja Indonesia dalam ketentuan tersebut.
Dalam aspek alih daya, MK meminta agar jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui alih daya harus ditentukan oleh menteri untuk memberikan kejelasan dan perlindungan hukum bagi pekerja alih daya.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menegaskan bahwa kejelasan ini penting agar tidak terjadi konflik antara perusahaan dan pekerja terkait status kerja dan hak-hak pekerja alih daya.
Putusan ini juga mencakup aspek waktu kerja lima hari, upah, dan ketentuan lainnya yang dianggap masih perlu diperjelas. MK berharap pemisahan UU ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja akan memperkuat kepastian dan keadilan bagi pekerja di Indonesia.