Jakarta, mataberita.net — Presiden Prabowo Subianto telah resmi melantik 48 Menteri untuk Kabinet Merah Putih selama periode 2024-2029. Dengan jumlah menteri tersebut, banyak pihak yang menyebutkan. Prabowo menjalankan kabinet gemuk. Hal itu pun menjadi sorotan Center of Economic and Law Studies (Celios). Dalam analisis, Celios mengutip argumen Prabowo yang bilang. Indonesia adalah negara besar. Sehingga memerlukan banyak menteri untuk mengelola pemerintahan secara efektif. Namun, hal terbilang mengalahkan negara besar lain yang memiliki penduduk dalam jumlah banyak seperti Amerika Serikat (AS) dan China.
“Amerika Serikat, dengan populasi sekitar 346 juta orang hanya memiliki 15 eksekutif departemen setingkat kementerian. Bahkan China sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia yang mencapai lebih dari 1,4 miliar, hanya memiliki 21 Kementerian. Sementara itu, Indonesia dengan populasi sekitar 275 juta memiliki 48 kementerian, jauh lebih banyak dibandingkan negara-negara tersebut,” tulis Celios dalam analisisnya, pada Senin (21/10/2024). Fakta itu disebutnya menunjukkan. Banyaknya jumlah Menteri bukanlah cara untuk meningkatkan efisiensi dan efektifivitas pemerintahan.
Sebaliknya, hal itu justru berpotensi memperbesar birokrasi dan meningkatkan pemborosan anggaran negara. Di sisi lain, Director of Fiscal Justice Celios Media Wahyudi Askar mengatakan penetapan menteri dan wakil menteri (wamen) yang dilakukan Prabowo tidak berdasarkan prinsip meritrokrasi. Hal itu kemudian menjadi ironi mengingat pemerintah tengah menjalankan proses rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) guna mengisi posisi-posisi dalam pemerintahan.
BACA JUGA : Yukz Tanya : Aplikasi Poligami dalam Poligini dan Poliandri Lagi Ngetren, Dibenarkan?
“Saat ini, proses rekrutmen CPNS tengah berlangsung dengan tahapan seleksi yang ketat dan memakan waktu panjang untuk memastikan. Hanya individu dengan kompetensi terbaik yang diterima. Ironisnya, jabatan-jabatan strategis di tingkat pemerintahan, termasuk menteri dan wakil menteri, justru tampaknya tidak mengikuti prinsip meritokrasi. Alih-alih memilih berdasarkan keahlian dan rekam jejak profesional, jabatan tersebut kini cenderung dibagi-bagikan berdasarkan kepentingan politik, termasuk posisi wakil menteri yang dulu sering diisi oleh profesional kini diberikan kepada kader partai politik,” ujar Media.
Oleh karena itu, Celios menyarankan adanya penguatan mekanisme pengawasan anggaran dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya publik. Penguatan fungsi lembaga-lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Agung (MA) menjadi penjaga terakhir untuk memastikan akuntabilitas. BPK juga perlu diberikan wewenang lebih untuk mengaudit penggunaan anggaran Kementerian dan Lembaga, termasuk menindaklanjuti proses legal penegakan.
Selain itu, KPK dan MA juga berperan penting dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap para pelanggar kebijakan anggaran dan pejabat yang menyalahgunakan wewenang. “Sinergi kuat antar lembaga ini akan menjadi kunci dalam menciptakan pemerintahan yang bersih, efisien, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Apabila lembaga-lembaga ini juga lemah, negara bisa kehilangan arah,” tulis Celios dalam laporan hasil analisisnya.