Jakarta, mataberita.net — Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap akar masalah dari ribut-ribut tunjangan dosen saat ini bermula dari pergantian nama kementerian. Gonta-ganti nama kementerian yang menaungi pendidikan berdampak pada masalah tunjangan dosen saat ini.
Wanita yang akrab disapa Ani menyebut mulanya pemerintah masih memakai nama Kementerian Kebudayaan (Kemendikbud). Lalu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2013 memutuskan bahwa tunjangan kinerja (tukin) tidak diberikan untuk pejabat fungsional dosen.
Ia menegaskan dosen kala itu tidak berhak atas tukin karena sudah mendapatkan tunjangan profesi. Menkeu Sri Mulyani menekankan aturan tersebut ditetapkan oleh mendikbud terkait pada masanya.
“Mungkin di 2013 antara tukin dengan tunjangan profesi (nominalnya) barangkali masih sama, atau bahkan tunjangan profesi lebih tinggi dikit daripada tukin. Kan tukin dinaikkan tiap tahun berdasarkan kinerja kementeriannya,” ungkapnya dalam Konferensi Pers Bersama di Kemendiktisaintek, Jakarta Pusat, pada Selasa (15/04/2025.
BACA JUGA : Layanan Kantor Imigrasi Soekarno-Hatta Masuk Peringkat 10 Besar Dunia versi Skytrax
“Kemendikbud itu terus-menerus menegaskan bahwa profesi dosen dan guru tidak dapat tukin, tapi dapatnya tunjangan profesi. Itu sesuai undang-undang,” tegas Ani.
Urusan pendidikan tinggi (dikti) lalu dipisahkan dari Kemendikbud menjadi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Aturan soal tukin kemudian diatur dalam Perpres Nomor 32 Tahun 2016, di mana tukin tetap tidak diberikan bagi dosen.
Begitu pula pada Perpres 131 Tahun 2018 yang tidak memasukkan dosen aparatur sipil negara (ASN) sebagai penerima tukin. Akan tetapi, besaran tunjangan kinerja Kemenristekdikti justru naik setelah melalui penilaian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
“(Pada) 2019, Dikti kembali lagi ke Kemendikbud, bolak-balik kan. Setiap bolak dan balik ini, dosen tetap hanya dapat tunjangan profesi. Dia tidak pernah di-treat sebagai aparat seperti ASN non-dosen yang mendapatkan tukin sesuai asesmen menpan RB,” tuturnya.
Tukin yang diberikan kepada ASN Kemendikbud saat itu mengacu pada Perpres Nomor 136 Tahun 2018. Akan tetapi, tidak ada ketegasan soal hak tunjangan kinerja buat dosen dalam beleid tersebut.
Ani menyinggung seiring pergantian nama kementerian tersebut sampai muncul ketidakjelasan hak tukin dosen di 2019 akhirnya menimbulkan protes. Terlebih, besaran tunjangan kinerja kementerian terus naik.
Perbandingannya, tunjangan profesi dosen setingkat guru besar adalah Rp6,73 juta. Sedangkan tukin pejabat Kemendikbud yang levelnya setara berhak mengantongi Rp19,28 juta.
“Sehingga memang dosen yang ada di lingkungan Kemendikbudristek merasa mendapat tunjangan profesi, dan waktu dilihat tukin di Kemendikbud atau Kemendiktisaintek naik terus, mereka menjadi worse off … Maka, muncul keresahan dan kemudian berdemonstrasi,” terang Ani.
“Inilah yang kemudian Bapak Presiden Prabowo meminta diperbaiki, kami diminta memperbaiki, apa sih kisrah-kisruh itu. Maka di 2024 mulai disusun perpres tukin tersebut,” tegasnya.
Akhirnya terbit Perpres Nomor 18 Tahun 2025 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Dosen ASN diputuskan juga berhak mengantongi tunjangan kinerja.
Mendiktisaintek Brian Yuliarto berjanji akan segera memproses aturan teknis terkait pencairan tunjangan kinerja, termasuk bagi dosen ASN.
Walau aturan turunan dikebut, Brian mengklaim pembayaran tukin belum akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Ia memperkirakan pencairan tukin dosen ASN baru bisa dimulai pada pertengahan tahun ini.
“Kapan (tukin) bisa cair? Sebagaimana tadi ibu menkeu dan menpan RB menyampaikan, ini sifatnya tunjangan kinerja, jadi kinerjanya tentu akan kita lihat. Dosen ini berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya, tidak bisa kita lihat snapshot satu bulan satu bulan karena dia bukan tenaga kerja yang hadir dan bekerja di kantor,” bebernya.
Ia mengatakan prosesnya sejalan dengan Tridharma Perguruan Tinggi yang dijalankan dosen. Brian menekankan kerja-kerja tersebut baru bisa terpotret setidaknya dalam satu semester.
Hal ini berbeda dengan pengukuran kinerja ASN atau pegawai negeri sipil (PNS) yang bisa dipotret bulanan. Mendiktisaintek Brian menyebut mengukur kinerja dosen butuh waktu, seperti dalam urusan menerbitkan jurnal, melakukan pengabdian masyarakat, sampai kepanitian dalam pengembangan institusi.
“Karenanya dalam peraturan yang sedang kita susun itu akan kita memotret capaian kinerja atau prestasi setiap satu semester, itu bisa mengukur kinerja dosen. Sedikit berbeda dengan tukin pegawai lainnya yang memang bukan sebagai dosen … Sehingga untuk tahun ini kita baru bisa melihat satu semester di Juni. Kita berharap (atau) targetkan pencairan ini (tukin dosen) baru Juli (2025) untuk (hasil) penilaian kinerja satu semester,” pungkas Brian.