Jakarta, mataberita.net — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut industri tekstil lokal pada 2023-2034 dalam kondisi terburuk sejak sembilan tahun terakhir.
“Banyak faktor yang mempengaruhi, baik faktor pasar, teknologi, regulasi, dan lainnya,” tutur Kompartemen Sumber Daya Manusia API Harrison Silaen di Solo, Jawa Tengah, pada Selasa (25/06/2024).
Ia menilai pemerintah perlu memiliki arah jelas untuk menangani masalah industri tekstil jika menganggap industri itu penting. Menurut Harrison, pengusaha lokal kesulitan bersaing dengan masifnya produk impor tekstil yang diizinkan masuk.
“Mari kita semua, termasuk lembaga bersama-sama menjaganya. Kami sadar sekitar 20 kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan industri tekstil, semua memiliki kepentingan masing-masing,” ucapnya.
Di samping itu, API juga berjuang untuk berkomunikasi dengan pihak lain dan memperbaiki kinerja di sektor industri.
BACA JUGA : Masyarakat Mengeluh Terkait Harga Tiket Kapal Feri Rute Batam-Singapura
Pada kesempatan sama, Wakil Ketua API Jawa Tengah Liliek Setiawan mengatakan kondisi geopolitik terutama krisis di Eropa yang dipicu oleh perang Ukraina dan Rusia menjadi salah satu penyebab lesunya pasar di kawasan tersebut.
“Ini jadi gejolak dalam ekonomi, gejolak yang negatif. Ini diperparah dengan lesunya market akibat pergeseran prioritas untuk spending money (membelanjakan uang),” ungkapnya.
Terlebih, Indonesia bukan satu-satunya negara produsen atau pengekspor tekstil.
Liliek menilai industri tekstil dalam negeri tengah menghadapi predatory pricing atau strategi ilegal menjual barang di bawah harga untuk merebut pangsa pasar.
“Jadi tantangan tidak hanya datang dari faktor eksternal, namun juga dari dalam negeri, termasuk masalah regulasi. Kondisi saat ini disebut sebagai kondisi terburuk sejak sembilan tahun terakhir untuk dunia tekstil,” ucapnya.
Bahkan, menurut dia jika dibiarkan maka predatory pricing ini tidak hanya berdampak pada perusahaan besar tetapi juga akan mematikan UMKM.
“Kalau UMKM berdampak artinya dampaknya sudah masif. Apalagi pelaku ekonomi kita 95 persen di UMKM,” pungkasnya.